Minggu, 03 Maret 2013

APRESIASI SENI DAN MEDIA MASSA


APRESIASI SENI DAN MEDIA MASSA 
Jayadi Kasto Kastari (Redaktur SKH Kedaulatan Rakyat) 
penting untuk di share juga smuga beliau berkenan...

PERTAMA
Kesadaran Media
            - Selama ini, aktivitas seni rupa lebih banyak diperuntukkan orang dewasa. Aktivitas seni rupa anak jarang terdengar. Itulah realitas media.
            - Kenapa terjadi demikian? Karena memang tidak ada aktivitas seni rupa anak? Atau karena pengelola seni tidak memberi info ke media? Seni belum sepenuhnya melibatkan media massa.

-Aktivitas seni rupa tidak ada, bagaimana masyarakat akan tahu tentang seni rupa anak?
-Jangan-jangan seni rupa anak itu sendiri justru bersifat temporer, tempo-tempo ada, tempo-tempo tidak ada? Seni rupa anak identik dengan lomba menggambar, lomba mewarnai? Pameran seni rupa anak sangat jarang diselenggarakan.
-Seni rupa anak sebatas pelengkap penderita.
- Pertanyaan menarik, apakah apresiasi seni rupa identik dengan pameran? Bukankah media massa, khususnya edisi minggu juga menyediakan space untuk seni rupa anak, seperti Kawanku’ Kedaulatan Rakyat Minggu.
- Apresiasi seni rupa anak bisa berjalan dengan baik manakala terjadinya sinergi, baik pelaku (perupa), pengelola pameran, kurator, media massa dan masyarakat sendiri. Apresiasi berkembang kalau ada sistem yang bekerja. Contoh, media mampu menggerakkan.
-Bagi media, seni rupa anak merupakan sesuatu peristiwa yang sangat langka.
-Sesuatu yang langka, manakala terjadi peristiwa seni rupa anak itu pasti mendapatkan tempat dan apresiasi yang baik. Tentu, ini bagi media yang memiliki kepedulian terhadap seni dan budaya, seperti KR. Berbeda bagi media massa yang semata-mata orientasi bisnis, seni rupa anak belum tentu menjadi daya tarik rubrikasi, pemberitaan sampai mampu mendulang dana. Media mampu menciptakan kemungkinan-kemungkinan.
- Mendulang dana? Seni rupa anak masih dikategorikan sebatas hobi atau sebatas pelengkap penderita. Maksudnya, berkarya pada tataran hobi, untuk mempertahankan eksistensi jadi profesi masih membutuhkan proses waktu alias jalan panjang.
- Di belakang anak, pasti ada orangtua. Itu sebenarnya bisa untuk menggali dan menggalang dana untuk eksistensi seni rupa anak maupun kelanjutan aktivitas seni.

KEDUA, SOLUSI?
-Kita tidak bisa menyalahlkan realitas. Justru yang terpenting, bagaimana orang tahu posisi dan potensi untuk bisa berbuat sesuatu, termasuk seni rupa anak.
-Taruhlah anak, berkarya tidak harus untuk dipamerkan di sebuah galeri. Pameran tidak harus bersama sanggar lukis, baik pameran tunggal atau bersama. Anak atas dukungan orangtua atau guru, bisa mencari media lain.
-Salah satunya, media massa.    
-Untuk hal ini, ada sejumlah kiat yang bisa dilakukan, yakni pelajari karakter media itu (rubrikasi), kirim karya yang berkualitas dan aktualitas.
-Betapa banyak media massa yang menyediakan space untuk ruang ekspresi anak, terutama pada koran edisi minggu, majalah bulanan. Artinya, anak bisa mengirim karya.
-Taruhlah guru dan orangtua, bisa memberi wawasan dan motivasi kepada anak dan siswa didiknya. Guru dan orangtua memiliki wawasan yang memadai tentang media.
-Bahkan guru atas nama sekolah bisa mengajak berkunjung langsung ke media yang bersangkutan. Sambil memberi wawasan juga pemahaman yang konprehensif. Sekolah, guru dan siswa bisa eksis sekaligus mendapatkan pemahaman yang konprehensif.
-Solusi lain? Rubrikasi di media juga bisa dimanfaatkan untuk menggali potensi tidak hanya seni rupa anak, seni yang lain.
-Seni rupa bisa bersentuhan dengan seni sastra. Atas bimbingan guru, orangtua, anak bisa kirim karya puisi siswa, cerita anak, cerita sebelum bobo, cerita legenda dikirim ke media.
-Dari seni rupa bisa mengembangkan bakat dan potensi, anak mendapatkan banyak pemahaman tentang bidang lain.
-Solusi lain?
         Kalau aktivitas seni rupa ingin eksis harus bersinergi dengan media, baik cetak maupun elektronik. Pra acara kegiatan seni rupa bisa ditulis sebagai pra-preview, demikian juga waktu pelaksanaan kegiatan berlangsung.
         Kesadaran seniman terhadap media belum tumbuh secara merata. Ada pandangan, seniman atau pekerja seni cukup berkarya, selesai. Padahal karya perlu disosialisakan agar bisa diapresiasi masyarakat secara maksimal.
         Saya pernah melontarkan pandangan, perlu diklat jurnalistik untuk seniman. Dari soal bagaimana memahami media, bagaimana bersinergi dengan media? Bagaimana sistem redaksional media? Bagaimana menyediakan materi seni yang layak untuk publikasi media, dst. Atau sebaliknya, diklat wartawan untuk memahami seni.
         Intinya, apresiasi seni akan lebih hidup dan bergairah kalau mampu bersinergi.
         Itu saja, mari kita berdialog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar