APRESIASI SENI DAN MEDIA MASSA
Jayadi Kasto Kastari (Redaktur SKH Kedaulatan Rakyat)
penting untuk di share juga smuga beliau berkenan...
PERTAMA
Kesadaran Media
- Selama ini, aktivitas seni rupa
lebih banyak diperuntukkan orang dewasa. Aktivitas seni rupa anak jarang
terdengar. Itulah realitas media.
- Kenapa terjadi demikian? Karena
memang tidak ada aktivitas seni rupa anak? Atau karena pengelola seni tidak
memberi info ke media? Seni belum sepenuhnya melibatkan media massa.
-Aktivitas seni rupa tidak
ada, bagaimana masyarakat akan tahu tentang seni rupa anak?
-Jangan-jangan seni rupa anak
itu sendiri justru bersifat temporer, tempo-tempo ada, tempo-tempo tidak ada?
Seni rupa anak identik dengan lomba menggambar, lomba mewarnai? Pameran seni
rupa anak sangat jarang diselenggarakan.
-Seni rupa anak sebatas
pelengkap penderita.
- Pertanyaan menarik, apakah apresiasi seni rupa identik dengan pameran?
Bukankah media massa, khususnya edisi minggu juga menyediakan space untuk seni
rupa anak, seperti Kawanku’ Kedaulatan Rakyat Minggu.
- Apresiasi seni rupa anak bisa berjalan dengan baik manakala terjadinya
sinergi, baik pelaku (perupa), pengelola pameran, kurator, media massa dan
masyarakat sendiri. Apresiasi berkembang kalau ada sistem yang bekerja. Contoh,
media mampu menggerakkan.
-Bagi media, seni rupa anak
merupakan sesuatu peristiwa yang sangat langka.
-Sesuatu yang langka, manakala
terjadi peristiwa seni rupa anak itu pasti mendapatkan tempat dan apresiasi
yang baik. Tentu, ini bagi media yang memiliki kepedulian terhadap seni dan
budaya, seperti KR. Berbeda bagi media massa yang semata-mata orientasi bisnis,
seni rupa anak belum tentu menjadi daya tarik rubrikasi, pemberitaan sampai
mampu mendulang dana. Media mampu menciptakan kemungkinan-kemungkinan.
- Mendulang dana? Seni rupa anak masih dikategorikan sebatas hobi atau
sebatas pelengkap penderita. Maksudnya, berkarya pada tataran hobi, untuk
mempertahankan eksistensi jadi profesi masih membutuhkan proses waktu alias
jalan panjang.
- Di belakang anak, pasti ada orangtua. Itu sebenarnya bisa untuk
menggali dan menggalang dana untuk eksistensi seni rupa anak maupun kelanjutan
aktivitas seni.
KEDUA, SOLUSI?
-Kita tidak bisa menyalahlkan
realitas. Justru yang terpenting, bagaimana orang tahu posisi dan potensi untuk
bisa berbuat sesuatu, termasuk seni rupa anak.
-Taruhlah anak, berkarya tidak
harus untuk dipamerkan di sebuah galeri. Pameran tidak harus bersama sanggar
lukis, baik pameran tunggal atau bersama. Anak atas dukungan orangtua atau
guru, bisa mencari media lain.
-Salah satunya, media
massa.
-Untuk hal ini, ada sejumlah
kiat yang bisa dilakukan, yakni pelajari karakter media itu (rubrikasi), kirim
karya yang berkualitas dan aktualitas.
-Betapa banyak media massa
yang menyediakan space untuk ruang ekspresi anak, terutama pada koran edisi
minggu, majalah bulanan. Artinya, anak bisa mengirim karya.
-Taruhlah guru dan orangtua,
bisa memberi wawasan dan motivasi kepada anak dan siswa didiknya. Guru dan
orangtua memiliki wawasan yang memadai tentang media.
-Bahkan guru atas nama sekolah
bisa mengajak berkunjung langsung ke media yang bersangkutan. Sambil memberi
wawasan juga pemahaman yang konprehensif. Sekolah, guru dan siswa bisa eksis
sekaligus mendapatkan pemahaman yang konprehensif.
-Solusi lain? Rubrikasi di
media juga bisa dimanfaatkan untuk menggali potensi tidak hanya seni rupa anak,
seni yang lain.
-Seni rupa bisa bersentuhan
dengan seni sastra. Atas bimbingan guru, orangtua, anak bisa kirim karya puisi
siswa, cerita anak, cerita sebelum bobo, cerita legenda dikirim ke media.
-Dari seni rupa bisa
mengembangkan bakat dan potensi, anak mendapatkan banyak pemahaman tentang
bidang lain.
-Solusi lain?
•
Kalau
aktivitas seni rupa ingin eksis harus bersinergi dengan media, baik cetak
maupun elektronik. Pra acara kegiatan seni rupa bisa ditulis sebagai
pra-preview, demikian juga waktu pelaksanaan kegiatan berlangsung.
•
Kesadaran
seniman terhadap media belum tumbuh secara merata. Ada pandangan, seniman atau
pekerja seni cukup berkarya, selesai. Padahal karya perlu disosialisakan agar
bisa diapresiasi masyarakat secara maksimal.
•
Saya
pernah melontarkan pandangan, perlu diklat jurnalistik untuk seniman. Dari soal
bagaimana memahami media, bagaimana bersinergi dengan media? Bagaimana sistem
redaksional media? Bagaimana menyediakan materi seni yang layak untuk publikasi
media, dst. Atau sebaliknya, diklat wartawan untuk memahami seni.
•
Intinya,
apresiasi seni akan lebih hidup dan bergairah kalau mampu bersinergi.
•
Itu saja,
mari kita berdialog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar