tulisan bapak Suwarno Wisetrotomo, Dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
ini penting untuk di share,smuga beliau berkenan...
(Pokok-pokok bahasan, untuk disampaikan pada
Seminar Apresiasi Seni Rupa – Meningkatkan Apresiasi seni Rupa Anak, untuk
Guru, oleh Dewan Kebudayaan Kota, di Hotel Rubha Grha, Yogyakarta, 24 Desember
2012)
1.
Anak-anak à dunia penuh warna,
imajinasi, khayali, fantasi, bertutur dengan gambar, dengan cerita, atau
bernyayi. Karena itu hampir semua anak-anak menyukai aktivitas seni, dalam
bentuk menggambar, membentuk, menyusun, menyanyi, bercerita/berteater yang kesemuanya bertujuan untuk
mengeluarkan “dunianya” yang penuh warna
dan imajinasi tersebut. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dan jujur. Anak-anak
harus memiliki ruang yang cukup dan bebas untuk mengembangkan kreativitasnya.
2.
Seni/Seni Rupa à apapun pilihan mediumnya
(bahasa, material; kertas, kanvas, tanah liat, kayu, batu, tanah, kaca, kapur,
arang, pastel, akrilik, cat minyak, dll), kesemuanya berfungsi sebagai alat untuk
berkisah, bertutur, ‘membangun dunia’ sesuai cara pandangnya. Karena itu,
hampir semua gambar anak-anak selalu menarik, selalu aneh, lucu, unik, dan
berbeda-beda. Setiap anak, memiliki perbedaan dalam melihat (persoalan
kehidupan) dan dalam mengekspresikannya (dalam bahasa apapun, termasuk bahasa
seni rupa). Seni rupa pada dasarnya adalah “bahasa” untuk mengucapkan/ menyatakan “sesuatu”
(marah, kecewa, protes, benci, rindu, bahagia, dll).
3.
Guru à adalah “fasilitator” bagi
pengembangan minat seni pada anak-anak. Mengajarkan seni rupa pada anak-anak,
adalah mengembangkan minat; bukan mengajari agar mereka bisa menggambar,
menjadi pelukis, pematung, pegrafis, pengomik, dan sebagainya. Akan tetapi
mengembangkan pengertian mereka tentang apa itu seni, karya seni, dan seniman;
apa itu lukisan, melukis, dan pelukis; apa itu patung, mematung, dan pematung;
apa itu grafis/cetak, menggrafis, dan pegrafis. Kemudian membangun pengertian
tentang berbagai persoalan dalam dunia seni rupa, misalnya; “apa, siapa,
mengapa, bagaimana Affandi, S. Sudjojono, Edhi Sunarso, Amri Yahya, Hendra
Gunawan, Rusli”, dan lain-lain. Mengapa mereka terkenal, mengapa karyanya
mahal, seperti apa saja karyanya, bagaimana prosesnya, dan lain-lain.
Karena itu guru perlu (harus)
memiliki pengetahuan dan wawasan tentang seni rupa; agar mampu menceritakan
tentang “apa, siapa, mengapa, bagaimana” dengan baik dan menarik.
Persoalan seni rupa tidak
hanya sebatas pada karya (lukisan, patung, grafis, gambar, komik, dll), tetapi
bertautan pula dengan “pengelolaan” seni; manajemen, penulis, kritikus, galeri,
museum, jurnalis, kolektor, dan sebagainya. Guru harus mampu memberikan
pengertian kepada anak didik, bahwa semua profesi itu baik dan penting, sejauh
dilakukan dengan penuh kejujuran, integritas, dan dedikasi, yang kesemuanya akan berujung pada pencapaian martabat.
Melalui seni/seni rupa, anak
diajarkan untuk bisa dan bersedia menghargai capaian orang lain, sensitif
jiwanya karena terlatih dengan keindahan yang beragam-rupa (sebab memang tak
ada keindahan tunggal; tak ada garis yang sama, ada rasa yang berbeda, dan
sebagainya).
Karena itu, pelajaran
kesenian/seni rupa semestinya menjadi pelajaran yang menyenenangkan;
menyegarkan pikiran; imajinatif, rekreatif, kreatif, dan anak menjadi terlatih
jiwanya. Karakternya terbentuk dengan baik; jika ia menjadi dokter, teknokrat,
politisi, atau birokrat, adalah tetap menjadi manusia yang “utuh”, yang bekerja
dengan kecerdasannya, ketrampilannya, keahliannya, dan dengan hatinya. Guru
perlu memfasilitasi dengan cara melakukan simulasi; aktivitas praktik seni yang
mampu mendorong minat yang dipilih oleh setiap siswa, tanpa harus
diarah-arahkan untuk menjadi seniman,
tetapi menjadi manusia yang mengerti seni (baca: manusia sutuhnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar