Minggu, 03 Maret 2013

Anak, Seni/Seni Rupa, dan Guru


tulisan bapak Suwarno Wisetrotomo, Dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
ini penting untuk di share,smuga beliau berkenan...
 
(Pokok-pokok bahasan, untuk disampaikan pada Seminar Apresiasi Seni Rupa – Meningkatkan Apresiasi seni Rupa Anak, untuk Guru, oleh Dewan Kebudayaan Kota, di Hotel Rubha Grha, Yogyakarta, 24 Desember 2012)
1.      Anak-anak à dunia penuh warna, imajinasi, khayali, fantasi, bertutur dengan gambar, dengan cerita, atau bernyayi. Karena itu hampir semua anak-anak menyukai aktivitas seni, dalam bentuk menggambar, membentuk, menyusun, menyanyi,  bercerita/berteater yang kesemuanya bertujuan untuk mengeluarkan “dunianya”  yang penuh warna dan imajinasi tersebut. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dan jujur. Anak-anak harus memiliki ruang yang cukup dan bebas untuk mengembangkan kreativitasnya. 
2.      Seni/Seni Rupa à apapun pilihan mediumnya (bahasa, material; kertas, kanvas, tanah liat, kayu, batu, tanah, kaca, kapur, arang, pastel, akrilik, cat minyak, dll), kesemuanya berfungsi sebagai alat untuk berkisah, bertutur, ‘membangun dunia’ sesuai cara pandangnya. Karena itu, hampir semua gambar anak-anak selalu menarik, selalu aneh, lucu, unik, dan berbeda-beda. Setiap anak, memiliki perbedaan dalam melihat (persoalan kehidupan) dan dalam mengekspresikannya (dalam bahasa apapun, termasuk bahasa seni rupa). Seni rupa pada dasarnya adalah “bahasa”  untuk mengucapkan/ menyatakan “sesuatu” (marah, kecewa, protes, benci, rindu, bahagia, dll).
3.      Guru à adalah “fasilitator” bagi pengembangan minat seni pada anak-anak. Mengajarkan seni rupa pada anak-anak, adalah mengembangkan minat; bukan mengajari agar mereka bisa menggambar, menjadi pelukis, pematung, pegrafis, pengomik, dan sebagainya. Akan tetapi mengembangkan pengertian mereka tentang apa itu seni, karya seni, dan seniman; apa itu lukisan, melukis, dan pelukis; apa itu patung, mematung, dan pematung; apa itu grafis/cetak, menggrafis, dan pegrafis. Kemudian membangun pengertian tentang berbagai persoalan dalam dunia seni rupa, misalnya; “apa, siapa, mengapa, bagaimana Affandi, S. Sudjojono, Edhi Sunarso, Amri Yahya, Hendra Gunawan, Rusli”, dan lain-lain. Mengapa mereka terkenal, mengapa karyanya mahal, seperti apa saja karyanya, bagaimana prosesnya, dan lain-lain.   
Karena itu guru perlu (harus) memiliki pengetahuan dan wawasan tentang seni rupa; agar mampu menceritakan tentang “apa, siapa, mengapa, bagaimana” dengan baik dan menarik.
Persoalan seni rupa tidak hanya sebatas pada karya (lukisan, patung, grafis, gambar, komik, dll), tetapi bertautan pula dengan “pengelolaan” seni; manajemen, penulis, kritikus, galeri, museum, jurnalis, kolektor, dan sebagainya. Guru harus mampu memberikan pengertian kepada anak didik, bahwa semua profesi itu baik dan penting, sejauh dilakukan dengan penuh kejujuran, integritas, dan dedikasi, yang kesemuanya  akan berujung pada pencapaian martabat. 
Melalui seni/seni rupa, anak diajarkan untuk bisa dan bersedia menghargai capaian orang lain, sensitif jiwanya karena terlatih dengan keindahan yang beragam-rupa (sebab memang tak ada keindahan tunggal; tak ada garis yang sama, ada rasa yang berbeda, dan sebagainya).
Karena itu, pelajaran kesenian/seni rupa semestinya menjadi pelajaran yang menyenenangkan; menyegarkan pikiran; imajinatif, rekreatif, kreatif, dan anak menjadi terlatih jiwanya. Karakternya terbentuk dengan baik; jika ia menjadi dokter, teknokrat, politisi, atau birokrat, adalah tetap menjadi manusia yang “utuh”, yang bekerja dengan kecerdasannya, ketrampilannya, keahliannya, dan dengan hatinya.   Guru perlu memfasilitasi dengan cara melakukan simulasi; aktivitas praktik seni yang mampu mendorong minat yang dipilih oleh setiap siswa, tanpa harus diarah-arahkan untuk  menjadi seniman, tetapi menjadi manusia yang mengerti seni (baca: manusia sutuhnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar